Selasa, 24 September 2019



Jerat-jerat Dogma dan Doktrin Sesat

     Judul buku :   Mereka Bilang Aku Kafir: Novel Pertobatan                                Seorang Anggota Aliran Sesat
     Pengarang  :   Muhammad Idris
     Penerbit      :   Hikmah (PT Mizan Publika) Jakarta
     Cetakan      :   Pertama, Oktober 2007
     Tebal          :   xii + 237 halaman


     AL-QURAN selalu diyakini kebenarannya, dipercaya sebagai petunjuk yang haq sejak ia diturunkan hingga akhir zaman. Namun demikian, pemaknaan atau penafsirannya tidak jarang dipelintir oleh penafsirnya demi kepentingan fanatisme (buta) dirinya serta kelompoknya. Maka muncullah tafsir yang bukan hanya radikal, tapi juga ekstrem.


     Celakanya, pemelintiran penafsiran terhadap ayat-ayat tertentu dipakai sedemikian rupa untuk menjerat “pengikut” dengan “pendoktrinan” dan “pendogmaan” pembenaran versi dirinya, yang sekaligus untuk menyalahkan dan menyudutkan pihak lain di luar dirinya itu. Inilah trik atau strategi yang dipakai untuk menyesatkan.
     Muhammad Idris, pengarang novel Mereka Bilang Aku Kafir, yang menokohkan  diri (point of view) sebagai ‘tokoh saya’  menceritakan tentang seputar aliran sesat dalam novelnya ini, dengan penuh dramatis, mencekam, dan menegangkan sekaligus mendebarkan. Gaya penceritaan menggunakan alur back tracking yang dominan, menjadikan novel ini terasa “cukup enak” dinikmati meski dengan degup hati yang berdebar bagai menikmati tontonan film horor.
     Seperti galibnya sebuah novel, dalam novel ini pun semua nama tokoh, nama organisasi atau kelompok, serta setting tempat dan waktu hanyalah fiktif belaka. Namun demikian, pijakan dasar yang melatarbelakangi terbitnya novel ini merupakan kisah nyata (based on true story).

Petualangan Tokoh Saya

     Mengungkap kebenaran dan membongkar kebusukan yang tersembunyi rapat-rapat, merupakan kepuasan tersendiri bagi tokoh saya. Tokoh saya berharap dengan jujur, mudah-mudahan kisah “menyakitkan” dan memalukan ini tidak menimpa atau menghiasi kehidupan orang lain.
     Tokoh saya yang lulusan sebuah pesantren di Jawa Timur, telah terperosok ke dalam “doktrin pembenaran” yang dianggap sebagai “tiket” menuju surga. Mulanya berupa ajakan untuk bisa memahami Al-Quran dalam waktu satu minggu. Si pengajak ini ternyata agen yang bertugas mencari orang sebagai sasaran untuk dijerat menjadi anggota KR-9 (Kompartemen Rayon 9), sebuah kelompok ekstrem keagamaan yang bergerak di bawah tanah dengan konsep yang matang dan sistematis.                                                                                                                                             
      Di lingkungan KR-9, imam atau pejabat atau ulil amri memiliki otoritas absolut. Apa yang diperintahkannya adalah mutlak dan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. …. Putih yang diperintahkan maka harus putih hasilnya, hitam yang diinginkan maka harus hitam pula hasilnya (hlm 21). Pada setiap pengikut atau anggota ditanamkan paham untuk memiliki loyalitas absolut dengan jargon sami’na wa atha’na (dengarkan dan kerjakan, patuhilah!).
      Penjaringan anggota atau pengikut diawali dengan metode pengajian yang jumlah pesertanya sangat terbatas, bahkan sering bersifat personal. Cara ini efektif untuk menanamkan doktrin pemahaman (baca: pemelintiran) ayat-ayat tertentu agar tidak terbantahkan. Hanya saja, pada sesi pengajian tahap awal materi yang dibahasnya masih seputar ibadah, ma’rifah an-nafs, hubungan khalik dan makhluk agar terkesan seperti pengajian pada umumnya. Baru pada sesi berikutnya, pemelintiran pun dimulai.
     Tafsir yang berbunyi: …Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir (Al-Maidah:44), dipakai secara “sepihak” oleh KR-9 sebagai dogma untuk menyudutkan dan menyalahkan pihak-pihak lain yang disebutnya tidak memakai aturan atau hukum Islam (termasuk pihak yang memakai Pancasila dan UUD ’45 sebagai sumber hukum). Celakanya, pihak-pihak lain yang tidak sepaham tersebut dicapnya sebagai golongan kafir. Sebuah pendoktrinan yang menghunjam ke jantung sasaran. Tokoh saya, walaupun memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang cukup kuat, pun tergoyahkan oleh pendoktrinan itu sebelum akhirnya sadar dan tobat.

Ekstrem

      Tokoh saya terjerat dalam aturan atau aliran, yang di kemudian hari disadarinya sebagai aliran sesat. Guru yang mengisi pengajian yang diikuti tokoh saya, berpesan agar materi pengajian – yang ekstrem dan radikal – ini jangan sampai dibocorkan kepada orang lain, apalagi tercium oleh polisi. Sekarang masih dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi) dan belum dakwah jahriyyah (terang-terangan), kata guru tadi.
      Pengikut atau anggota baru harus mengikuti upacara atau ritual hijrah. Tokoh saya pun dihijrahkan pada suatu malam, dari yang bathil kepada yang haq, dari negara yang tidak diridai Allah ke negara yang diridai Allah, dari RI (Republik Indonesia) ke RII (Republik Islam Indonesia).
      Hierarki sebutan jabatan dalam RII strukturnya seperti hierarki urutan para nabi. Adam berarti imam negara Islam, kemudian berurutan Idris, Nuh, Hud (setingkat guber-nur), Shaleh (bupati), Ibrahim (camat), Musa (lurah), dan jamaah biasa disebut Ahlul Bait.
      Hijrah dimaksudkan sebagai penyucian diri. Ritual hijrah dipimpin oleh Hud (gubernur) atau Shaleh (bupati). Tokoh saya bersama sejumlah orang yang hendak dihijrahkan juga, diminta mengeluarkan sejumlah uang infak (upeti)  guna menyucikan diri. Ada yang mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, malah diejek oleh Hud dan Shaleh. “Masa untuk menghijrahkan dan menyucikan, cuma dengan uang seratus ribu,” tukas mereka berdua. Satu tugas yang harus dilaksanakan setelah hijrah adalah merekrut orang-orang terdekat untuk bisa dihijrahkan juga, atau dalam istilah kelompok ini “menyelamatkan orang terdekat”.
     KR-9 memiliki pondok pesantren megah seluas 2000 hektare untuk pengaderan melalui bidang pendidikan. KR-9 menggabungkan jalur pendidikan dan jalur politik untuk menggapai otoritas mutlak atau revolusi. Jalur politik dilakukan dengan gerakan bawah tanah di setiap provinsi Republik Indonesia.
     Ahlul Bait atau anggota KR-9 pada umumnya,  telah didoktrin   untuk  menganggap  orang yang tidak sepaham atau orang di luar golongannya sebagai kafir, fasik, dan zalim; orang di luar golongannya dianggap sebagai sampah yang menjijikkan dan tidak berguna, kecuali didaur ulang (dihijrahkan).
     Pesantren megah itu bernama Ma’had Al-Jannah, menampung santri dari seluruh pelosok negeri, bahkan ada santri yang berasal dari negeri tetangga. Pada mulanya, syarat masuk menjadi santri dengan menyerahkan satu ekor sapi; namun pada perkembangan berikutnya syarat masuknya adalah menyerahkan uang 5000 dolar. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak para ahlul bait. Mereka benar-benar dimanjakan, tidak perlu mencuci pakaian sendiri karena ada fasilitas laundry yang siap mencucikan pakaian kotor mereka. Belum lagi fasilitas makan dan tempatnya yang demikian bagus. Al-Jannah pun memiliki lahan garapan pertanian dan peternakan untuk menopang kebutuhan mereka. Kalau santri dimanjakan dengan berbagai fasilitas, tidak demikian dengan guru atau ustaz/ustazah yang rata-rata gajinya memprihatinkan.
     Tokoh saya berperan langsung melalui jalur pendidikan dengan menjadi tenaga pendidik atau ustaz di Ma’had Al-Jannah. Secara spesifik, jalur politik yang bergerak di bawah tanah menjadi garapan mereka yang tidak terlibat langsung di jalur pendidikan. Seiring kesibukan sehari-hari menjadi ustaz, sebagai manusia normal tokoh saya membutuhkan wanita pendamping. Namun, untuk urusan yang satu ini pun tidak boleh sembarangan alias harus diatur dan diketahui oleh pihak Al-Jannah.
     Di lingkungan pesantren inilah tokoh saya menemukan jodohnya. Masalah perjodohan harus mengikuti tata aturan yang berlaku. Menikah dengan orang di luar KR-9 adalah hal terlarang untuk dilakukan. Jika dilakukan, sama saja dengan menikahi seekor babi yang kotor, sama saja dengan melacurkan tubuhnya setiap malam.
     Proses pendekatan atau sering disebut ta’aruf  tokoh saya dengan calon istri diatur oleh Majelis Guru. Calon istri yang ditaksir tokoh saya itu adalah salah seorang ustazah di pesantren Al-Jannah, ia bernama Alifah.  Majelis Guru bertugas menjembatani proses munakahat (pernikahan) di lingkungan Al-Jannah. Ustazah Alifah dan tokoh saya pun sepakat untuk menyatukan diri dalam pernikahan. Sebuah pernikahan yang dilatarbelakangi persamaan nasib, profesi, dan persamaan akidah KR-9 yang digenggam erat dan diyakini kebenarannya melebihi apa pun.
     Prasyarat munakahat antara lain infak nikah yang mesti dibayarkan, di samping mahar yang harus dipenuhi calon mempelai pria sesuai keinginan calon mempelai wanita. Upacara pernikahan ala KR-9 unik dan ekstrem. Tokoh saya pun terheran-heran karena belum pernah melihat model pernikahan seperti itu. Pukul satu dinihari tokoh saya dan Alifah dipertemukan di kantor Majelis Guru, bersama dengan sembilan calon pasangan pengantin yang lain. Beberapa jam sebelumnya telah diberi wejangan oleh Syaikh Ma’had, pucuk pimpinan  Al-Jannah.
     Dinihari itu sepuluh pasangan calon pengantin dibawa ke luar dari pesantren dengan berkendara dua mobil, satu mobil untuk para ustaz dan satunya lagi untuk para ustazah. Perjalanan memakan waktu tiga jam. Sesaat sebelum mobil tiba di suatu tempat yang dirahasiakan, mereka disuruh menutup mata dan dilarang mengintip. Usai turun dari mobil, calon pengantin dipersilakan mandi, lalu berpakaian rapi, kemudian sarapan pagi. Mereka dikumpulkan di ruang yang luas dan lebar. Pernikahan massal ala KR-9 pun digelar dipimpin oleh penghulu. Anehnya tanpa didampingi wali atau pihak keluarga, sehingga banyak ustaz dan ustazah yang keluarganya tidak tahu kalau mereka telah menikah. Setelah pernikahan, “bulan madu” pun dilangsungkan dengan aturan ketat yang  tidak mengindahkan sisi manusiawi alias jauh dari layaknya bulan madu. Bulan madu itu hanyalah kilatan cahaya yang berlalu tanpa bisa ditatap jelas.
     Setahun setelah menikah, tokoh saya mendapatkan bayi mungil laki-laki 3 kilogram 48 sentimeter, dari rahim istrinya, Alifah, melalui proses persalinan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Alifah diberi cuti satu bulan, sedangkan tokoh saya diberi izin dua hari untuk mendampingi istri melahirkan. Pembatasan ini begitu menyiksa perasaan. Pernah tebersit dalam benak tokoh saya untuk tidak kembali ke Al-Jannah, namun loyalitas absolut tak mampu mengikis niatan itu. Masa cuti hamil dan melahirkan yang hanya satu bulan, berlalu begitu cepat. Tugas mengajar sebagai ustazah telah menunggu di Al-Jannah. Alifah dan bayi mungil beserta tokoh saya tinggal di lingkungan pesantren.
     Tokoh saya, istri dan anaknya, ditempatkan di sebuah ruang khusus. Ruang itu dihuni empat keluarga dengan anak-anaknya yang semuanya masih bayi. Sempit dan tak layak adalah sebutan yang pantas untuk pemandangan seperti itu. Antara keluarga satu dengan keluarga lainnya hanya disekati lemari buku dan gorden. Waktu antara mengajar dan mengasuh bayi harus diatur sedemikian rupa agar semua urusan yang menjadi tanggung jawabnya tidak terbengkalai.
      Ketidaklayakan, hal-hal kurang manusiawi, pengorbanan tak wajar demi KR-9 dengan tenaga-pikiran-uang, serta ketimpangan-ketimpangan lain mulai menerpa sisi loyalitas tokoh saya. Mata hatinya mulai melihat kebusukan-kebusukan yang disembunyikan. Setiap masalah yang mengganjal di benaknya sulit dimusyawarahkan dengan pihak Al-Jannah karena QS As-Syu’ara: 38 (urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka) dan QS Ali Imran: 159 (dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu) pun ternyata tidak berlaku di Al-Jannah, dan yang berlaku adalah cengkeraman otoritas absolut Syaikh Ma’had. Idealisme yang diusung KR-9 banyak yang tidak sesuai dengan realita. Tokoh saya pada akhirnya yakin, bahwa jalan yang dirintis Syaikh beserta pengikutnya tidak akan sampai ke tujuannya.

Sadar dan Tobat

     Kalaulah KR-9 itu benar, mengapa para polisi, TNI, dan tentara tidak boleh diajak masuk ke dalam golongan mereka? Bukankah kebenaran itu tidak akan pernah pandang bulu? Kalaulah KR-9 itu benar, mengapa cara pandang dan cara hidup para pemimpinnya tidak islami? … (hlm 201). Pertanyaan tersebut mengganjal pikiran tokoh saya, lantas menggugah serta memicu untuk kembali ke jalan yang lurus dan tidak sesat. Yang haq akan selalu menang dan yang bathil akan selalu kalah. Itu janji dan ketetapan Allah, yang kini sangat diyakini tokoh saya.
     Kemantapan tokoh saya justru terganjal sosok istri yang bersikukuh pada ketaatan dan keyakinan absolut ala KR-9. “Ayah tidak boleh begitu. Ayah harus taat kepada pemimpin. Pemimpin itu wakil Allah di muka bumi ini,” katanya (hlm 228). Tapi tanpa disangka dan diduga, saat penyadaran Alifah keluar dari kelompok atau aliran itu pun tiba, justru bersumber dari peristiwa buang air besarnya Khaidir, anaknya yang masih kecil.
     Si kecil Khaidir yang lagi bermain di lantai kantor manajemen asrama, tiba-tiba buang air besar. Lantai karpet yang bersih dengan ruangan yang wangi parfum terkontaminasi oleh aroma kotoran Khaidir yang berceceran itu. Spontan salah seorang Harisul Ma’had (staf setia Syaikh) memaki dan marah besar pada Alifah, ibunya Khaidir. Alifah sakit hati dan terluka perasaannya dimarahi habis-habisan di depan santriwati yang menyaksikan peristiwa itu.
     Alifah menangis dan amat kecewa. Suaminya menghibur sekaligus memberi masukan bahwa sifat pemimpin seperti itu tidaklah islami dan Qurani. Dan Alifah pun luluh tertunduk tanpa kata, menyetujui ajakan suaminya untuk keluar dari KR-9 dan Al-Jannah. Keluar dari lingkungan itu yang semula tabu, kini justru menjadi dambaannya. “Jadi, peristiwa buang air besar anak saya inilah turning point kehidupan saya,” tandas tokoh saya (hlm 228).
     Kejadian lain yang ternyata mengandung hikmah adalah perintah Syaikh untuk para ustaz dan ustazah yang telah berkeluarga tidak lagi diperbolehkan tinggal di asrama, dan harus segera mengontrak rumah di daerah perkampungan sekitar Al-Jannah. Kesempatan ini dipergunakan keluarga tokoh saya dengan sebaik-baiknya untuk menembus birokrasi perizinan yang super-rumit. Dengan dalih mau mengontrak rumah di kampung sebelah, tokoh saya menyewa truk untuk mengangkut semua barang dan perabotan rumah tangga yang dimilikinya. Mereka keluar dari Al-Jannah, bukan menuju kampung sebelah untuk mengontrak rumah tapi meninggalkan Al-Jannah selama-lamanya, pulang ke rumah orangtua Alifah di Jakarta. Alifah menunjukkan pada suaminya senyum bahagia terlepas dari jerat yang menyesatkan, begitu menginjakkan kaki di kampung halamannya.
     Alifah menangis dan sungkem mohon maaf kepada kedua orangtuanya. Kedua orang-tua Alifah senang dan bersyukur karena anak dan menantunya telah terbebas dari KR-9 dan Al-Jannah. Tokoh saya pun tafakkur dalam kekhusyukan doa, mohon ampun kepada Allah, berlindung dan mohon pertolongan-Nya, sadar atas segala kesalahan dirinya dan istrinya selama ini. Tokoh saya dan istri kembali menata dan menapaki jalan normal dengan segenap kemerdekaannya.
     Setahun setelah keluar dari KR-9 dan Al-Jannah, di sebuah angkot tokoh saya secara tak sengaja bertemu dengan seorang ustaz yang masih aktif di Al-Jannah. Si ustaz itu berkata, “Antum lemah, antum tak tahan uji, antum lari dari pertempuran” (hlm 203). Tokoh saya pun bergeming, kemantapannya meninggalkan aliran sesat itu sudah demikian kuat dan bulat. Ia telah sadar dan tobat.
     Novel pertobatan buah karya Muhammad Idris ini layak dibaca umat muslim pada umumnya, dengan harapan agar mereka tidak terseret arus penyesatan atas nama dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.


                                                                                          Peresensi:  Imron Samsuharto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar