Jerat-jerat Dogma dan Doktrin Sesat
Judul buku : Mereka Bilang Aku
Kafir: Novel Pertobatan Seorang Anggota Aliran Sesat
Pengarang : Muhammad Idris
Penerbit : Hikmah (PT Mizan
Publika) Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober
2007
Tebal : xii + 237
halaman
AL-QURAN
selalu diyakini kebenarannya, dipercaya sebagai petunjuk yang haq sejak ia diturunkan hingga akhir
zaman. Namun demikian, pemaknaan atau penafsirannya tidak jarang dipelintir
oleh penafsirnya demi kepentingan fanatisme (buta) dirinya serta kelompoknya.
Maka muncullah tafsir yang bukan hanya radikal, tapi juga ekstrem.
Celakanya, pemelintiran penafsiran
terhadap ayat-ayat tertentu dipakai sedemikian rupa untuk menjerat “pengikut”
dengan “pendoktrinan” dan “pendogmaan” pembenaran versi dirinya, yang sekaligus
untuk menyalahkan dan menyudutkan pihak lain di luar dirinya itu. Inilah trik atau
strategi yang dipakai untuk menyesatkan.
Muhammad Idris, pengarang novel Mereka Bilang Aku Kafir, yang
menokohkan diri (point of view) sebagai ‘tokoh saya’
menceritakan tentang seputar aliran sesat dalam novelnya ini, dengan
penuh dramatis, mencekam, dan menegangkan sekaligus mendebarkan. Gaya
penceritaan menggunakan alur back
tracking yang dominan, menjadikan novel ini terasa “cukup enak” dinikmati
meski dengan degup hati yang berdebar bagai menikmati tontonan film horor.
Seperti galibnya sebuah novel, dalam novel
ini pun semua nama tokoh, nama organisasi atau kelompok, serta setting tempat dan waktu hanyalah fiktif
belaka. Namun demikian, pijakan dasar yang melatarbelakangi terbitnya novel ini
merupakan kisah nyata (based on true
story).
Petualangan Tokoh Saya
Mengungkap kebenaran dan membongkar
kebusukan yang tersembunyi rapat-rapat, merupakan kepuasan tersendiri bagi
tokoh saya. Tokoh saya berharap dengan jujur, mudah-mudahan kisah “menyakitkan”
dan memalukan ini tidak menimpa atau menghiasi kehidupan orang lain.
Tokoh saya yang lulusan sebuah pesantren
di Jawa Timur, telah terperosok ke dalam “doktrin pembenaran” yang dianggap
sebagai “tiket” menuju surga. Mulanya berupa ajakan untuk bisa memahami Al-Quran
dalam waktu satu minggu. Si pengajak ini ternyata agen yang bertugas mencari
orang sebagai sasaran untuk dijerat menjadi anggota KR-9 (Kompartemen Rayon 9),
sebuah kelompok ekstrem keagamaan yang bergerak di bawah tanah dengan konsep
yang matang dan sistematis.
Di lingkungan KR-9, imam atau pejabat
atau ulil amri memiliki otoritas
absolut. Apa yang diperintahkannya adalah mutlak dan merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan. …. Putih yang diperintahkan maka harus putih hasilnya,
hitam yang diinginkan maka harus hitam pula hasilnya (hlm 21). Pada setiap
pengikut atau anggota ditanamkan paham untuk memiliki loyalitas absolut dengan
jargon sami’na wa atha’na (dengarkan
dan kerjakan, patuhilah!).
Penjaringan anggota atau pengikut diawali
dengan metode pengajian yang jumlah pesertanya sangat terbatas, bahkan sering
bersifat personal. Cara ini efektif untuk menanamkan doktrin pemahaman (baca:
pemelintiran) ayat-ayat tertentu agar tidak terbantahkan. Hanya saja, pada sesi
pengajian tahap awal materi yang dibahasnya masih seputar ibadah, ma’rifah an-nafs, hubungan khalik dan
makhluk agar terkesan seperti pengajian pada umumnya. Baru pada sesi
berikutnya, pemelintiran pun dimulai.
Tafsir yang berbunyi: …Barang siapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir (Al-Maidah:44),
dipakai secara “sepihak” oleh KR-9 sebagai dogma untuk menyudutkan dan
menyalahkan pihak-pihak lain yang disebutnya tidak memakai aturan atau hukum
Islam (termasuk pihak yang memakai Pancasila dan UUD ’45 sebagai sumber hukum).
Celakanya, pihak-pihak lain yang tidak sepaham tersebut dicapnya sebagai
golongan kafir. Sebuah pendoktrinan yang menghunjam ke jantung sasaran. Tokoh
saya, walaupun memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang cukup kuat,
pun tergoyahkan oleh pendoktrinan itu sebelum akhirnya sadar dan tobat.
Ekstrem
Tokoh saya terjerat dalam aturan atau
aliran, yang di kemudian hari disadarinya sebagai aliran sesat. Guru yang
mengisi pengajian yang diikuti tokoh saya, berpesan agar materi pengajian –
yang ekstrem dan radikal – ini jangan sampai dibocorkan kepada orang lain,
apalagi tercium oleh polisi. Sekarang masih dakwah
sirriyah (sembunyi-sembunyi) dan belum dakwah
jahriyyah (terang-terangan), kata guru tadi.
Pengikut atau anggota baru harus
mengikuti upacara atau ritual hijrah.
Tokoh saya pun dihijrahkan pada suatu malam, dari yang bathil kepada yang haq,
dari negara yang tidak diridai Allah ke negara yang diridai Allah, dari RI
(Republik Indonesia )
ke RII (Republik Islam Indonesia ).
Hierarki sebutan jabatan dalam RII
strukturnya seperti hierarki urutan para nabi. Adam berarti imam negara Islam, kemudian berurutan Idris, Nuh, Hud (setingkat guber-nur), Shaleh (bupati), Ibrahim (camat), Musa (lurah),
dan jamaah biasa disebut Ahlul Bait.
Hijrah dimaksudkan sebagai penyucian
diri. Ritual hijrah dipimpin oleh Hud
(gubernur) atau Shaleh (bupati).
Tokoh saya bersama sejumlah orang yang hendak dihijrahkan juga, diminta
mengeluarkan sejumlah uang infak (upeti) guna
menyucikan diri. Ada
yang mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, malah diejek oleh Hud dan Shaleh. “Masa untuk menghijrahkan dan menyucikan, cuma dengan uang
seratus ribu,” tukas mereka berdua. Satu tugas yang harus dilaksanakan setelah
hijrah adalah merekrut orang-orang terdekat untuk bisa dihijrahkan juga, atau
dalam istilah kelompok ini “menyelamatkan orang terdekat”.
KR-9 memiliki pondok pesantren megah
seluas 2000 hektare untuk pengaderan melalui bidang pendidikan. KR-9
menggabungkan jalur pendidikan dan jalur politik untuk menggapai otoritas
mutlak atau revolusi. Jalur politik dilakukan dengan gerakan bawah tanah di
setiap provinsi Republik Indonesia .
Ahlul
Bait atau anggota KR-9 pada umumnya,
telah didoktrin untuk menganggap orang yang tidak sepaham atau orang di luar
golongannya sebagai kafir, fasik, dan zalim; orang di luar golongannya dianggap
sebagai sampah yang menjijikkan dan tidak berguna, kecuali didaur ulang (dihijrahkan).
Pesantren megah itu bernama Ma’had
Al-Jannah, menampung santri dari seluruh pelosok negeri, bahkan ada santri
yang berasal dari negeri tetangga. Pada mulanya, syarat masuk menjadi santri
dengan menyerahkan satu ekor sapi; namun pada perkembangan berikutnya syarat
masuknya adalah menyerahkan uang 5000 dolar. Sebagian besar dari mereka adalah
anak-anak para ahlul bait. Mereka
benar-benar dimanjakan, tidak perlu mencuci pakaian sendiri karena ada
fasilitas laundry yang siap
mencucikan pakaian kotor mereka. Belum lagi fasilitas makan dan tempatnya yang
demikian bagus. Al-Jannah pun memiliki lahan garapan pertanian dan peternakan
untuk menopang kebutuhan mereka. Kalau santri dimanjakan dengan berbagai
fasilitas, tidak demikian dengan guru atau ustaz/ustazah yang rata-rata gajinya
memprihatinkan.
Tokoh saya berperan langsung melalui jalur
pendidikan dengan menjadi tenaga pendidik atau ustaz di Ma’had Al-Jannah.
Secara spesifik, jalur politik yang bergerak di bawah tanah menjadi garapan
mereka yang tidak terlibat langsung di jalur pendidikan. Seiring kesibukan
sehari-hari menjadi ustaz, sebagai manusia normal tokoh saya membutuhkan wanita
pendamping. Namun, untuk urusan yang satu ini pun tidak boleh sembarangan alias
harus diatur dan diketahui oleh pihak Al-Jannah.
Di lingkungan pesantren inilah tokoh saya
menemukan jodohnya. Masalah perjodohan harus mengikuti tata aturan yang
berlaku. Menikah dengan orang di luar KR-9 adalah hal terlarang untuk
dilakukan. Jika dilakukan, sama saja dengan menikahi seekor babi yang kotor,
sama saja dengan melacurkan tubuhnya setiap malam.
Proses pendekatan atau sering disebut ta’aruf
tokoh saya dengan calon istri diatur oleh Majelis Guru. Calon istri yang
ditaksir tokoh saya itu adalah salah seorang ustazah di pesantren Al-Jannah, ia
bernama Alifah. Majelis Guru bertugas
menjembatani proses munakahat
(pernikahan) di lingkungan Al-Jannah. Ustazah Alifah dan tokoh saya pun sepakat
untuk menyatukan diri dalam pernikahan. Sebuah pernikahan yang dilatarbelakangi
persamaan nasib, profesi, dan persamaan akidah KR-9 yang digenggam erat dan
diyakini kebenarannya melebihi apa pun.
Prasyarat munakahat antara lain infak nikah yang mesti dibayarkan, di samping
mahar yang harus dipenuhi calon mempelai pria sesuai keinginan calon mempelai
wanita. Upacara pernikahan ala KR-9 unik dan ekstrem. Tokoh saya pun
terheran-heran karena belum pernah melihat model pernikahan seperti itu. Pukul
satu dinihari tokoh saya dan Alifah dipertemukan di kantor Majelis Guru,
bersama dengan sembilan calon pasangan pengantin yang lain. Beberapa jam
sebelumnya telah diberi wejangan oleh Syaikh Ma’had, pucuk pimpinan Al-Jannah.
Dinihari itu sepuluh pasangan calon pengantin
dibawa ke luar dari pesantren dengan berkendara dua mobil, satu mobil untuk
para ustaz dan satunya lagi untuk para ustazah. Perjalanan memakan waktu tiga
jam. Sesaat sebelum mobil tiba di suatu tempat yang dirahasiakan, mereka
disuruh menutup mata dan dilarang mengintip. Usai turun dari mobil, calon
pengantin dipersilakan mandi, lalu berpakaian rapi, kemudian sarapan pagi.
Mereka dikumpulkan di ruang yang luas dan lebar. Pernikahan massal ala KR-9 pun
digelar dipimpin oleh penghulu. Anehnya tanpa didampingi wali atau pihak
keluarga, sehingga banyak ustaz dan ustazah yang keluarganya tidak tahu kalau
mereka telah menikah. Setelah pernikahan, “bulan madu” pun dilangsungkan dengan
aturan ketat yang tidak mengindahkan
sisi manusiawi alias jauh dari layaknya bulan madu. Bulan madu itu hanyalah
kilatan cahaya yang berlalu tanpa bisa ditatap jelas.
Setahun setelah menikah, tokoh saya mendapatkan
bayi mungil laki-laki 3 kilogram 48 sentimeter, dari rahim istrinya, Alifah, melalui
proses persalinan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Alifah diberi cuti satu
bulan, sedangkan tokoh saya diberi izin dua hari untuk mendampingi istri
melahirkan. Pembatasan ini begitu menyiksa perasaan. Pernah tebersit dalam
benak tokoh saya untuk tidak kembali ke Al-Jannah, namun loyalitas absolut tak
mampu mengikis niatan itu. Masa cuti hamil dan melahirkan yang hanya satu
bulan, berlalu begitu cepat. Tugas mengajar sebagai ustazah telah menunggu di
Al-Jannah. Alifah dan bayi mungil beserta tokoh saya tinggal di lingkungan
pesantren.
Tokoh saya, istri dan anaknya, ditempatkan
di sebuah ruang khusus. Ruang itu dihuni empat keluarga dengan anak-anaknya
yang semuanya masih bayi. Sempit dan tak layak adalah sebutan yang pantas untuk
pemandangan seperti itu. Antara keluarga satu dengan keluarga lainnya hanya
disekati lemari buku dan gorden. Waktu antara mengajar dan mengasuh bayi harus
diatur sedemikian rupa agar semua urusan yang menjadi tanggung jawabnya tidak
terbengkalai.
Ketidaklayakan, hal-hal kurang manusiawi,
pengorbanan tak wajar demi KR-9 dengan tenaga-pikiran-uang, serta ketimpangan-ketimpangan
lain mulai menerpa sisi loyalitas tokoh saya. Mata hatinya mulai melihat kebusukan-kebusukan
yang disembunyikan. Setiap masalah yang mengganjal di benaknya sulit
dimusyawarahkan dengan pihak Al-Jannah karena QS As-Syu’ara: 38 (urusan mereka diputuskan dengan musyawarah
antara mereka) dan QS Ali Imran: 159 (dan
musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu) pun ternyata tidak berlaku di
Al-Jannah, dan yang berlaku adalah cengkeraman otoritas absolut Syaikh Ma’had.
Idealisme yang diusung KR-9 banyak yang tidak sesuai dengan realita. Tokoh saya
pada akhirnya yakin, bahwa jalan yang dirintis Syaikh beserta pengikutnya tidak
akan sampai ke tujuannya.
Sadar dan Tobat
Kalaulah KR-9 itu benar, mengapa para
polisi, TNI, dan tentara tidak boleh diajak masuk ke dalam golongan mereka?
Bukankah kebenaran itu tidak akan pernah pandang bulu? Kalaulah KR-9 itu benar,
mengapa cara pandang dan cara hidup para pemimpinnya tidak islami? … (hlm 201).
Pertanyaan tersebut mengganjal pikiran tokoh saya, lantas menggugah serta
memicu untuk kembali ke jalan yang lurus dan tidak sesat. Yang haq akan selalu menang dan yang bathil akan selalu kalah. Itu janji dan
ketetapan Allah, yang kini sangat diyakini tokoh saya.
Kemantapan tokoh saya justru terganjal
sosok istri yang bersikukuh pada ketaatan dan keyakinan absolut ala KR-9. “Ayah
tidak boleh begitu. Ayah harus taat kepada pemimpin. Pemimpin itu wakil Allah
di muka bumi ini,” katanya (hlm 228). Tapi tanpa disangka dan diduga, saat
penyadaran Alifah keluar dari kelompok atau aliran itu pun tiba, justru
bersumber dari peristiwa buang air besarnya Khaidir, anaknya yang masih kecil.
Si kecil Khaidir yang lagi bermain di
lantai kantor manajemen asrama, tiba-tiba buang air besar. Lantai karpet yang
bersih dengan ruangan yang wangi parfum terkontaminasi oleh aroma kotoran
Khaidir yang berceceran itu. Spontan salah seorang Harisul Ma’had (staf setia Syaikh) memaki dan marah besar pada
Alifah, ibunya Khaidir. Alifah sakit hati dan terluka perasaannya dimarahi
habis-habisan di depan santriwati yang menyaksikan peristiwa itu.
Alifah menangis dan amat kecewa. Suaminya
menghibur sekaligus memberi masukan bahwa sifat pemimpin seperti itu tidaklah
islami dan Qurani. Dan Alifah pun luluh tertunduk tanpa kata, menyetujui ajakan
suaminya untuk keluar dari KR-9 dan Al-Jannah. Keluar dari lingkungan itu yang
semula tabu, kini justru menjadi dambaannya. “Jadi, peristiwa buang air besar
anak saya inilah turning point
kehidupan saya,” tandas tokoh saya (hlm 228).
Kejadian lain yang ternyata mengandung
hikmah adalah perintah Syaikh untuk para ustaz dan ustazah yang telah
berkeluarga tidak lagi diperbolehkan tinggal di asrama, dan harus segera
mengontrak rumah di daerah perkampungan sekitar Al-Jannah. Kesempatan ini
dipergunakan keluarga tokoh saya dengan sebaik-baiknya untuk menembus birokrasi
perizinan yang super-rumit. Dengan dalih mau mengontrak rumah di kampung
sebelah, tokoh saya menyewa truk untuk mengangkut semua barang dan perabotan
rumah tangga yang dimilikinya. Mereka keluar dari Al-Jannah, bukan menuju kampung
sebelah untuk mengontrak rumah tapi meninggalkan Al-Jannah selama-lamanya,
pulang ke rumah orangtua Alifah di Jakarta. Alifah menunjukkan pada suaminya
senyum bahagia terlepas dari jerat yang menyesatkan, begitu menginjakkan kaki
di kampung halamannya.
Alifah menangis dan sungkem mohon maaf
kepada kedua orangtuanya. Kedua orang-tua Alifah senang dan bersyukur karena
anak dan menantunya telah terbebas dari KR-9 dan Al-Jannah. Tokoh saya pun tafakkur dalam kekhusyukan doa, mohon
ampun kepada Allah, berlindung dan mohon pertolongan-Nya, sadar atas segala
kesalahan dirinya dan istrinya selama ini. Tokoh saya dan istri kembali menata
dan menapaki jalan normal dengan segenap kemerdekaannya.
Setahun setelah keluar dari KR-9 dan
Al-Jannah, di sebuah angkot tokoh saya secara tak sengaja bertemu dengan
seorang ustaz yang masih aktif di Al-Jannah. Si ustaz itu berkata, “Antum lemah, antum tak tahan uji, antum
lari dari pertempuran” (hlm 203). Tokoh saya pun bergeming, kemantapannya
meninggalkan aliran sesat itu sudah demikian kuat dan bulat. Ia telah sadar
dan tobat.
Novel pertobatan buah karya Muhammad Idris
ini layak dibaca umat muslim pada umumnya, dengan harapan agar mereka tidak
terseret arus penyesatan atas nama dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar