REALITAS KUANTUM DALAM IMAJI SENI*)
Oleh IMRON SAMSUHARTO
Quantum seni diilhami dari
suatu paradigma dalam ilmu fisika. Dalam fisika quantum dikatakan bahwa sebuah
foton (butiran cahaya) adalah partikel dan sekaligus gelombang. Realitas
quantum dapat diterapkan dalam memandang dan menyikapi realita sehari-hari,
termasuk realitas seni.
Judul buku :
Quantum Seni
Penulis :
Dr M. Dwi Marianto
Penerbit : Dahara Prize, Semarang
Edisi :
Pertama, Oktober 2006
Tebal : x + 214 halaman
Munculnya buku ini dilatarbelakangi tulisan karya Danah Zohar, Deepak
Chopra, dan Daniel Bohm. Ketiganya membahas tentang realitas, apa saja, yang
sesungguhnya tidak pernah diam, beku, dan mengendap begitu saja, karena
realitas itu berada dalam jagad yang senantiasa bergerak dan berubah serta
berada dalam hubungan yang kait-mengait, oleh karenanya realitas itu selalu
dalam proses menjadi.
Dwi Marianto, sang penulis Quantum Seni yang dosen UGM dan ISI
Yogyakarta memang memberi niatan pada paparan mengenai realitas quantum yang
baginya demikian inspirasional itu, guna mengamati fenomena seni melalui
perspektif quantum. Materi penulisannya pun pada mulanya hanyalah ide-ide dan
informasi yang berserakan di sana-sini.
Dalam sejarah seni modern tercatat bahwa teori-teori besar ilmu fisika
telah memengaruhi paradigma-paradigma serta metode dalam memandang dan
menafsirkan realitas yang kemudian dinyatakan sebagai subjek seni. Dengan kata
lain, perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia seni tidak lepas dari
pengaruh teori-teori besar yang menggejala di zamannya. Misalnya teori Isaac
Newton yang dikenal dengan determinisme Newtonian.
Newton (1643-1727) mengandaikan alam semesta sebagai sebuah mesin
raksasa yang berjalan dalam keteraturan yang absolut. Bahwa atom itu bisa
diukur besarannya, posisinya pun bisa diperhitungkan secara pasti. Ruang dan
waktu dianggap punya struktur yang sama dan bersifat universal.
Determinisme Newtonian telah berabad-abad memengaruhi filsafat, sains,
dan teknologi. Namun dengan adanya temuan-temuan Albert Einstein, determinisme
Newtonian mulai goyah. Menurut Einstein (1879-1955), ruang dan waktu tidak sama
dalam konteks yang berbeda. Bahwa ruang, waktu, massa, dan energi tidaklah
mutlak, melainkan tergantung dari keadaan bergerak.
Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa ruang dan waktu tidaklah
absolut, melainkan ‘lekuk’, artinya bentuknya tergantung dari adanya
massa-massa berat. Teori inilah yang merelativikasikan konsep-konsep absolut
yang dulu diajarkan dalam fisika klasik.
Pada dekade ketiga abad ke-20
dicetuskan teori yang berpijak pada fisika quantum, maka disebut teori quantum.
Secara prinsip teori baru ini mematahkan determinisme Newtonian.
Eksperimen-eksperimen fisika inti quantum memberi pembuktian bahwa ternyata
inti dari suatu makhluk (being)
bukanlah partikel yang bersifat tunggal, melainkan dualitas dari gelombang atau partikel. Partikel dan gelombang itu saling bertukar-tukaran bentuk
dan sifatnya. Yang saat ini jadi partikel, pada saat berikutnya jadi gelombang,
dan terus berubah lagi jadi partikel dan seterusnya.
Dualitas karya seni
Pandangan tentang realitas dari fisika quantum sangat penting untuk
dipakai mengkaji dan mengapresiasi karya atau fenomena seni. Realitas seni,
sama halnya dengan realitas sosial dan budaya, dapat dibayangkan sebagai sungai
yang airnya terus mengalir berkesinambungan, berubah-ubah wujud aliran dan
sifat gelombangnya tergantung pada kelokan-kelokan dan kedalaman alur yang
dilaluinya. Bahwa karya seni pada prinsipnya dapat juga dilihat sebagai suatu
dualitas, dalam arti ia dapat dilihat dari aspek partikel, atau dari aspek
gelombangnya.
Sebagai contoh, sebuah lukisan dapat dilihat dari aspek partikelnya,
yaitu sebagai kanvas yang dibentang dan dilumuri cat sehingga membentuk suatu
imaji tertentu. Atau dari aspek gelombangnya, karya yang sama dapat dilihat
sebagai suatu pernyataan, suatu ekspresi visual, yang maknanya terus berubah,
tergantung bagaimana ia dipandang, oleh siapa, atau bilamana dilihatnya (hlm
7).
Kata “quantum” berasal dari bahasa Latin yang artinya seberapa banyak.
Menurut kamus, quantum (kata benda) berarti suatu jumlah/kuantitas. Dalam
konteks fisika, quantum adalah suatu unit energi terkecil, dan yang tak lagi
dapat terbagi. Bentuk jamak dari quantum adalah quanta. Quantum merupakan suatu
partikel yang sangat aneh, sebab ia tak punya massa , dan merupakan gelombang cahaya yang
tertransformasi jadi partikel. Transformasi ini terjadi dari gelombang cahaya
menjadi partikel cahaya, atau sebaliknya dari partikel ke gelombang.
Melalui sudut pandang teori quantum, karya seni bisa dilihat pada aspek
fisiknya (partikelnya) yaitu sebagai sesuatu yang konkret dan terukur
besarannya, atau dalam derajat yang sama ia juga bisa dilihat sebagai sesuatu
gelombang yang mengandung makna, pesan-pesan, dan membangkitkan
asosiasi-asosiasi yang mengaitkannya dengan konteksnya.
Jika Anda berjalan-jalan di kawasan Malioboro, Yogyakarta ,
coba perhatikan patung Jendral Soedirman di depan gedung DPRD. Hasil kreasi
pematung Hendra Gunawan itu, dapat dilihat dari aspek partikel maupun
gelombangnya.
Dari aspek partikel, dapat dikemukakan materi apa yang dipakai untuk
membuat patung tersebut; menghadap kemana; komponennya apa saja; berapa ukuran
tinggi, lebar, dan ketebalannya; bagaimana penggarapan anatomi dan proporsi
figurnya; bagaimana ekspresi wajahnya; pakaian dan atribut apa saja yang
dikenakan; apa bedanya dengan patung monumental yang lain, dan sebagainya.
Dari aspek gelombangnya, dapat dikemukakan apa yang ditandakan, konsep
apa yang dapat dianyam dari menafsirkan dimensi-dimensi dan karakter-karakter
khusus fisik patung tersebut. Sebagai ilustrasi, sosok Jendral Soedirman tidak
digambarkan oleh pematungnya sebagaimana lazimnya tokoh yang gagah perkasa,
tapi justru kurus-kering, kempot, tulang pipinya menonjol. Boleh jadi ini merupakan
hakikat karakter dari (the essence of)
Jendral Soedirman yang direpresentasikan sebagai pengidap TBC, kelelahan dalam
revolusi dan peperangan.
Ketika seorang seniman membuat karya
seni sesungguhnya ia memartikelkan atau mengonkretkan idenya (gelombang).
Ketika karya itu (partikel) dimaknai oleh seorang kritikus atau pengamat seni,
karyanya itu (partikel) digelombangkan. Dan ketika pengamat itu menuliskan
pemahaman tentang karya itu dalam bentuk artikel yang diterbitkan, ia
memartikelkan pemahamannya melalui tanda-tanda tipografis atau alfabetis.
Demikian seterusnya, ketika pembaca membaca artikel itu, ia menggelombangkan
partikel (artikel) itu. Cara pandang memang harus bolak-balik, dari kutub
partikel ke gelombang dan dari kutub gelombang ke partikel.
Materi pendukung
Inti pembahasan atau kupasan quantum seni sebetulnya tercakup pada bab 1
dan bab 2. Bab lainnya merupakan penopang atau pendukung keseluruhan materi
yang bersinergi membentuk “orkestra” yang enak untuk dirasa.
Rasa dipungut sebagai kata kunci pada paparan bab 3. Dalam wacana seni
rupa, seni musik, seni gerak, dan cabang seni lain, sering digunakan kata
“rasa”. Rasa (sense) adalah daya
penggerak dan pewarna tingkah laku dan kreasi kita. Bila perasaan sedang
jernih, pekerjaan akan dilakukan dengan senang hati. Ketika seorang penari
berlenggak-lenggok dengan penuh penghayatan dan perasaan, maka terpancarlah
energi dinamisme dari tarinya itu yang memengaruhi pemirsanya. Kata orang Bali,
penari tadi memancarkan taksu.
Rasa merupakan salah satu dari daya-daya khusus tubuh manusia,bisa
melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, atau pengecapan atau
gabungan dari dua atau lebih indra-indra. Dengan rasa kita tidak hanya
mengartikan realitas seperti apa adanya, dan memaparkannya secara gamblang hitam putih , tetapi dengan rasa kita bisa
memecah-mecah realitas itu menjadi remah-remah dan dalam berbagai lapisan,
untuk kemudian memadukannya kembali menjadi suatu pola baru, yang bagi orang
yang bersangkutan lebih bermakna (lihat hlm 43).
Menurut Ramachandran, seniman-seniman Hindu (di India) dalam berkreasi
sebenarnya mengutarakan ‘rasa’, atau ‘esensi’ dari sesuatu. Rasa merupakan the very essence of .... atau hakikat
sejati dari …. Dengan karyanya yang ‘mewadahi’ rasa tertentu, seniman ingin
membangkitkan perasaan yang spesifik dalam diri pemirsa. Untuk itulah ia
memilih dan menggambarkan imaji-imaji tertentu, yaitu yang dipilih karena
dirasakan paling mewakili imajinasi atau
gambaran mentalnya. Karena dengan pilihan yang dianggap tepat itu ia boleh
mengharapkan karyanya bisa membangkitkan respons-respons emosional dari pemirsa
atas sesuatu yang mau disampaikan secara spesifik.
Patung perunggu Dreams buah
cipta Teguh S. Priyono, misalnya, menonjolkan rasa sensualitas dari subjeknya. Dreams sempat dipamerkan di Dahara
Gallery Semarang dari tanggal 15 Juli – 15 Agustus 2006 bertema “Back to
Senses”. Ternyata rasa dan makna karya seni akan menampak dan terasakan jika
ada hubungan antara yang memirsa dan yang dipirsa (observer dan yang
diobservasi).
Hal menarik
lain yang dibahas dalam buku ini adalah paradigma dan brainstorming; mendeskripsi, menafsirkan, dan menilai karya seni;
menyatunya observer dan yang diobservasi; makna dalam menafsir; belajar
berpikir lateral dan mega imajinasi; sekilas tentang hermeneutika dan
semiotika; media visual dan visual literacy; audiens yang dibayangkan; berpikir
analitis; tangram; memetik masa depan sendiri; dan oasis di daerah urban
perkotaan.
~ Imron Samsuharto, editor sebuah Penerbit di Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar