Jumat, 13 September 2019


REALITAS KUANTUM  DALAM IMAJI SENI*)

Oleh IMRON SAMSUHARTO

Quantum seni diilhami dari suatu paradigma dalam ilmu fisika. Dalam fisika quantum dikatakan bahwa sebuah foton (butiran cahaya) adalah partikel dan sekaligus gelombang. Realitas quantum dapat diterapkan dalam memandang dan menyikapi realita sehari-hari, termasuk realitas seni.

                                 Judul buku     :   Quantum Seni
                                 Penulis           :   Dr M. Dwi Marianto
                                 Penerbit         :    Dahara Prize, Semarang
                                 Edisi              :    Pertama, Oktober 2006
                                 Tebal              :    x + 214 halaman



   Munculnya buku ini dilatarbelakangi tulisan karya Danah Zohar, Deepak Chopra, dan Daniel Bohm. Ketiganya membahas tentang realitas, apa saja, yang sesungguhnya tidak pernah diam, beku, dan mengendap begitu saja, karena realitas itu berada dalam jagad yang senantiasa bergerak dan berubah serta berada dalam hubungan yang kait-mengait, oleh karenanya realitas itu selalu dalam proses menjadi.
   Dwi Marianto, sang penulis Quantum Seni yang dosen UGM dan ISI Yogyakarta memang memberi niatan pada paparan mengenai realitas quantum yang baginya demikian inspirasional itu, guna mengamati fenomena seni melalui perspektif quantum. Materi penulisannya pun pada mulanya hanyalah ide-ide dan informasi yang berserakan di sana-sini.
    Dalam sejarah seni modern tercatat bahwa teori-teori besar ilmu fisika telah memengaruhi paradigma-paradigma serta metode dalam memandang dan menafsirkan realitas yang kemudian dinyatakan sebagai subjek seni. Dengan kata lain, perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia seni tidak lepas dari pengaruh teori-teori besar yang menggejala di zamannya. Misalnya teori Isaac Newton yang dikenal dengan determinisme Newtonian.
    Newton (1643-1727) mengandaikan alam semesta sebagai sebuah mesin raksasa yang berjalan dalam keteraturan yang absolut. Bahwa atom itu bisa diukur besarannya, posisinya pun bisa diperhitungkan secara pasti. Ruang dan waktu dianggap punya struktur yang sama dan bersifat universal.
      Determinisme Newtonian telah berabad-abad memengaruhi filsafat, sains, dan teknologi. Namun dengan adanya temuan-temuan Albert Einstein, determinisme Newtonian mulai goyah. Menurut Einstein (1879-1955), ruang dan waktu tidak sama dalam konteks yang berbeda. Bahwa ruang, waktu, massa, dan energi tidaklah mutlak, melainkan tergantung dari keadaan bergerak.
     Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut, melainkan ‘lekuk’, artinya bentuknya tergantung dari adanya massa-massa berat. Teori inilah yang merelativikasikan konsep-konsep absolut yang dulu diajarkan dalam fisika klasik.
      Pada dekade ketiga abad ke-20 dicetuskan teori yang berpijak pada fisika quantum, maka disebut teori quantum. Secara prinsip teori baru ini mematahkan determinisme Newtonian. Eksperimen-eksperimen fisika inti quantum memberi pembuktian bahwa ternyata inti dari suatu makhluk (being) bukanlah partikel yang bersifat tunggal, melainkan dualitas dari gelombang atau partikel. Partikel dan gelombang itu saling bertukar-tukaran bentuk dan sifatnya. Yang saat ini jadi partikel, pada saat berikutnya jadi gelombang, dan terus berubah lagi jadi partikel dan seterusnya.

Dualitas karya  seni

   Pandangan tentang realitas dari fisika quantum sangat penting untuk dipakai mengkaji dan mengapresiasi karya atau fenomena seni. Realitas seni, sama halnya dengan realitas sosial dan budaya, dapat dibayangkan sebagai sungai yang airnya terus mengalir berkesinambungan, berubah-ubah wujud aliran dan sifat gelombangnya tergantung pada kelokan-kelokan dan kedalaman alur yang dilaluinya. Bahwa karya seni pada prinsipnya dapat juga dilihat sebagai suatu dualitas, dalam arti ia dapat dilihat dari aspek partikel, atau dari aspek gelombangnya.
      Sebagai contoh, sebuah lukisan dapat dilihat dari aspek partikelnya, yaitu sebagai kanvas yang dibentang dan dilumuri cat sehingga membentuk suatu imaji tertentu. Atau dari aspek gelombangnya, karya yang sama dapat dilihat sebagai suatu pernyataan, suatu ekspresi visual, yang maknanya terus berubah, tergantung bagaimana ia dipandang, oleh siapa, atau bilamana dilihatnya (hlm 7).
     Kata “quantum” berasal dari bahasa Latin yang artinya seberapa banyak. Menurut kamus, quantum (kata benda) berarti suatu jumlah/kuantitas. Dalam konteks fisika, quantum adalah suatu unit energi terkecil, dan yang tak lagi dapat terbagi. Bentuk jamak dari quantum adalah quanta. Quantum merupakan suatu partikel yang sangat aneh, sebab ia tak punya massa, dan merupakan gelombang cahaya yang tertransformasi jadi partikel. Transformasi ini terjadi dari gelombang cahaya menjadi partikel cahaya, atau sebaliknya dari partikel ke gelombang.
     Melalui sudut pandang teori quantum, karya seni bisa dilihat pada aspek fisiknya (partikelnya) yaitu sebagai sesuatu yang konkret dan terukur besarannya, atau dalam derajat yang sama ia juga bisa dilihat sebagai sesuatu gelombang yang mengandung makna, pesan-pesan, dan membangkitkan asosiasi-asosiasi yang mengaitkannya dengan konteksnya.
   Jika Anda berjalan-jalan di kawasan Malioboro, Yogyakarta, coba perhatikan patung Jendral Soedirman di depan gedung DPRD. Hasil kreasi pematung Hendra Gunawan itu, dapat dilihat dari aspek partikel maupun gelombangnya.
     Dari aspek partikel, dapat dikemukakan materi apa yang dipakai untuk membuat patung tersebut; menghadap kemana; komponennya apa saja; berapa ukuran tinggi, lebar, dan ketebalannya; bagaimana penggarapan anatomi dan proporsi figurnya; bagaimana ekspresi wajahnya; pakaian dan atribut apa saja yang dikenakan; apa bedanya dengan patung monumental yang lain, dan sebagainya.
   Dari aspek gelombangnya, dapat dikemukakan apa yang ditandakan, konsep apa yang dapat dianyam dari menafsirkan dimensi-dimensi dan karakter-karakter khusus fisik patung tersebut. Sebagai ilustrasi, sosok Jendral Soedirman tidak digambarkan oleh pematungnya sebagaimana lazimnya tokoh yang gagah perkasa, tapi justru kurus-kering, kempot, tulang pipinya menonjol. Boleh jadi ini merupakan hakikat karakter dari (the essence of) Jendral Soedirman yang direpresentasikan sebagai pengidap TBC, kelelahan dalam revolusi dan peperangan.
     Ketika seorang seniman membuat karya seni sesungguhnya ia memartikelkan atau mengonkretkan idenya (gelombang). Ketika karya itu (partikel) dimaknai oleh seorang kritikus atau pengamat seni, karyanya itu (partikel) digelombangkan. Dan ketika pengamat itu menuliskan pemahaman tentang karya itu dalam bentuk artikel yang diterbitkan, ia memartikelkan pemahamannya melalui tanda-tanda tipografis atau alfabetis. Demikian seterusnya, ketika pembaca membaca artikel itu, ia menggelombangkan partikel (artikel) itu. Cara pandang memang harus bolak-balik, dari kutub partikel ke gelombang dan dari kutub gelombang ke partikel.

Materi pendukung

    Inti pembahasan atau kupasan quantum seni sebetulnya tercakup pada bab 1 dan bab 2. Bab lainnya merupakan penopang atau pendukung keseluruhan materi yang bersinergi membentuk “orkestra” yang enak untuk dirasa.
       Rasa dipungut sebagai kata kunci pada paparan bab 3. Dalam wacana seni rupa, seni musik, seni gerak, dan cabang seni lain, sering digunakan kata “rasa”. Rasa (sense) adalah daya penggerak dan pewarna tingkah laku dan kreasi kita. Bila perasaan sedang jernih, pekerjaan akan dilakukan dengan senang hati. Ketika seorang penari berlenggak-lenggok dengan penuh penghayatan dan perasaan, maka terpancarlah energi dinamisme dari tarinya itu yang memengaruhi pemirsanya. Kata orang Bali, penari tadi memancarkan taksu.
    Rasa merupakan salah satu dari daya-daya khusus tubuh manusia,bisa melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, atau pengecapan atau gabungan dari dua atau lebih indra-indra. Dengan rasa kita tidak hanya mengartikan realitas seperti apa adanya, dan memaparkannya secara gamblang  hitam putih , tetapi dengan rasa kita bisa memecah-mecah realitas itu menjadi remah-remah dan dalam berbagai lapisan, untuk kemudian memadukannya kembali menjadi suatu pola baru, yang bagi orang yang bersangkutan lebih bermakna (lihat hlm 43).
   Menurut Ramachandran, seniman-seniman Hindu (di India) dalam berkreasi sebenarnya mengutarakan ‘rasa’, atau ‘esensi’ dari sesuatu. Rasa merupakan the very essence of .... atau hakikat sejati dari …. Dengan karyanya yang ‘mewadahi’ rasa tertentu, seniman ingin membangkitkan perasaan yang spesifik dalam diri pemirsa. Untuk itulah ia memilih dan menggambarkan imaji-imaji tertentu, yaitu yang dipilih karena dirasakan paling mewakili imajinasi  atau gambaran mentalnya. Karena dengan pilihan yang dianggap tepat itu ia boleh mengharapkan karyanya bisa membangkitkan respons-respons emosional dari pemirsa atas sesuatu yang mau disampaikan secara spesifik.
        Patung perunggu Dreams buah cipta Teguh S. Priyono, misalnya, menonjolkan rasa sensualitas dari subjeknya. Dreams sempat dipamerkan di Dahara Gallery Semarang dari tanggal 15 Juli – 15 Agustus 2006 bertema “Back to Senses”. Ternyata rasa dan makna karya seni akan menampak dan terasakan jika ada hubungan antara yang memirsa dan yang dipirsa (observer dan yang diobservasi).
     Hal menarik lain yang dibahas dalam buku ini adalah paradigma dan brainstorming; mendeskripsi, menafsirkan, dan menilai karya seni; menyatunya observer dan yang diobservasi; makna dalam menafsir; belajar berpikir lateral dan mega imajinasi; sekilas tentang hermeneutika dan semiotika; media visual dan visual literacy; audiens yang dibayangkan; berpikir analitis; tangram; memetik masa depan sendiri; dan oasis di daerah urban perkotaan.
~ Imron Samsuharto, editor sebuah  Penerbit di  Semarang

*) dimuat di harian Kompas edisi Senin, 15 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar