BERSERAH SECARA KAFFAH*)

Simaklah sejenak Alquran surat Albaqarah
ayat ke-208: “Ya ayyuhal-ladziina aamanud-khuluu
fissilmi kaaffah, walaa tattabi-‘uu khuthuwaatis-syaithoon; innahuu lakum
‘aduwwum-mubiin” yang artinya, “wahai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”
Namun demikian, mencari dan melangkah
menuju keselamatan itu ternyata sulit bukan main. Istilah “kaffah” mudah
diucapkan, dalam praktiknya sangat sulit diwujudkan. Kenapa? Persoalannya adalah
bahwa “kaffah” itu meliputi bukan hanya wilayah lahiriah atau hal yang tampak
di sisi luar, tetapi juga wilayah batin. Dan jika berbicara mengenai batin ini,
persoalan menjadi rumit karena tidak tampak di sisi luarnya, walaupun dalam
batas tertentu sisi dalam bisa dirasakan juga dampaknya.
Jika melihat sisi lahiriah, atau
simpelnya urusan duniawi, orang gampang tergiur dan larut di dalamnya. Sebagai
contoh, betapa banyak orang asyik masyuk menikmati keglamoran mal, supermarket,
atau hipermarket yang menawarkan dan menyajikan aneka macam kebutuhan lahiriah
atau jasmani. Padahal itu harus dibayar dengan uang. Dan ini berlangsung terus,
tiada niatan untuk berhenti menuruti keglamoran tersebut lantaran tak ada batas
kepuasan.
Ironisnya, orang Islam pun tak
sedikit yang terkecoh serta terlarut dalam urusan keduniawian itu. Gebyar
duniawi lebih menarik perhatiannya, sehingga lebih banyak diburu. Sementara
majelis-majelis ta’lim atau ilmu agama di masjid atau musholla seperti majelis
dzikir, pengajian, kajian ilmu bekal akhirat, yang bersifat rohaniah justru
dijauhi. Hanya sedikit orang yang mau
melibatkan diri dalam kegiatan yang bernuansa rohani ini.
Kira-kira mana yang bisa
dikategorikan “kaffah” melihat kenyataan ini? Silakan koreksi atau bermuhasabah
sendiri-sendiri, sehingga diketahui jawabannya secara jujur. Sejatinya ada dua
tempat sebagai gambaran nyata yang biasa didatangi orang namun melambangkan
simbol makna yang kontradiktif di antara keduanya. Dua tempat itu adalah masjid
dan pasar. Orang yang datang ke tempat tersebut, tentu punya niat dan maksud
tertentu.
Masjid adalah tempat mulia yang
sering didatangi orang-orang beriman. Tempat untuk aktivitas batiniah atau
bersifat rohaniah. Sedangkan pasar, entah itu tradisional atau modern, lebih
dominan dengan tempat ketidakjujuran alias topeng kedustaan. Apa yang dipajang dan
ditawarkan di pasar belum tentu sesuai dengan kualitas yang sebenarnya.
Sementara syetan musuh yang nyata bagi manusia itu, lebih suka di pasar
ketimbang di masjid. Meski tak terlihat, syetan terus dan terus berupaya
menjerumuskan manusia. Penegasan ini tampak pada redaksi ayat yang menyinggung
tentang “kaffah” tadi. Peringatan keras, janganlah turuti langkah-langkah
syetan.
Orang yang “kaffah” senantiasa
memelihara dan menghidupkan pikiran dan hatinya. Pikiran terus digunakan untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak mana yang
batil. Hati dijaga benar-benar agar tidak
lengah ditembus oleh bujuk-rayu syetan. Iman menancap kuat di dada. Jika
pikiran dan hati itu dipelihara dan dijaga terus dengan sebaik-baiknya,
insyaallah selamat. Namun, sekali lagi, hal ini sungguh berat dan sulit bukan
kepalang. Bagi orang yang “kaffah”, dunia ini bukan tempat tinggal tapi tempat
meninggal. Makanya, tempat yang fana itu dijadikannya sebagai ladang subur
untuk menanam amal kebajikan.
Jadi, orang yang mengaku dirinya beriman,
mengaku islam tetapi masih juga berbuat negatif – mencaci, menyakiti, menyalahkan orang
lain, menggunjing, menjelek-jelekkan pihak lain, iri, dengki, hasud, sombong,
membanggakan diri berlebihan, berdusta, menyalahgunakan wewenang/jabatan,
korupsi, dan sebagainya – berarti belum
dikategorikan “kaffah”.
*) disarikan dari pengajian Ahad Pagi, 18
November 2018, di Masjid Baitul Istighfar, Gondoriyo Ngaliyan, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar