Rabu, 11 September 2019


TINGKAH LISAN, FISIK, DAN HATI*)
Bahwa secara hakiki ibadah itu harus dilakukan terus menerus tiada henti, kecuali maut telah menjemput. Artinya, setelah mati tak bisa lagi ibadah itu dilakukan. Misalnya menegakkan sholat wajib, melaksanakan puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, dan sebagainya. Termasuk kategori wajib adalah mencari atau menuntut ilmu tentang ikhwal ibadah tadi. Ilmu sholat, ilmu puasa, ilmu zakat, dan ilmu-ilmu lain perihal ibadah tersebut hukumnya "wajib ain".

Sifat ilmu wajib ain itu tak kenal umur bagi pencarinya, baik masih muda belia maupun sudah tua bangka. Itulah sarana atau jalan menuju penerang akhirat kelak. Dan sudah pasti ilmu tersebut menjunjung tinggi derajat. Ilmu wajib ain itu mesti dipelajari agar diri pribadi paham betul tentang ilmu tersebut sehingga tak keliru dalam beribadah. Beribadah itu harus dengan ilmu, sebab tanpa ilmu maka ibadah bisa salah arah atau salah kaprah.
Ilmu dicari atau diburu untuk menaikkan derajat, terlebih lagi ilmu agama yang bersifat wajib. Dengan perantara ilmu ini, orang bakal mulia kedudukannya dan tak bakal telantar. Dan yang lebih penting lagi dalam pencarian ilmu adalah tingkah atau perilaku yang harus ditata. Tingkah ini diupayakan hingga berstatus bagus serta berkualitas.
Yang pertama, tingkah ucapan/lisan. Ini sungguh berat untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Standarnya adalah jangan sampai terlontar kata-kata atau ucapan dari lisan kita sehingga orang jadi kecewa (sakit hati). Semisal menebar aib dengan mengumbar lisan kemana-mana, ucapan bernada fitnah atau hasud, menjelekkan orang lain, dan sebagainya. Prinsipnya jangan membuat orang tersinggung atau marah lantaran ulah lisan. Untuk melakukan ini tidak perlu semacam ilmu nahwu atau shorof yang sifatnya "wajib bukan ain". Menjadikan orang lain kecewa atau marah itu dilarang, apalagi membuat Allah murka. Misalnya tidak ikhlas menerima takdir, mengeluh terus-menerus atas keadaan yang menimpa, termasuk berdakwah yang hanya untuk kepentingan diri pribadi dan keduniawian.
Yang kedua, tingkah badan atau fisik. Badan atau fisik yang sehat segar bugar mesti senantiasa dijaga dan dipelihara. Badan yang sehat merupakan sarana atau alat untuk menuju ketaatan kepada Allah. Dengan badan yang sehat, maka bisa melaksanakan sholat. Juga memungkinkan mampu menjalankan rangkaian ibadah haji yang menuntut kesehatan dan kebugaran fisik. Jangan sampai lantaran badan yang sehat kuat dan bugar itu malah dipakai untuk memukul atau mencederai orang lain. Jangan sampai pula dengan kondisi sehat seperti itu kok malah tidak melaksanakan sholat, tidak berpuasa, dan seterusnya. Malaikat mencatat semua perilaku badan atau fisik tersebut.
Yang ketiga, tingkah hati. Letak atau posisi hati di antara dada dan perut. Perbuatan atau tingkah hati, hanya Allah yang tahu. Fitrahnya memang demikian. Maka, bisa saja kita terkecoh dengan perbuatan fisik seseorang yang seolah bagus namun ternyata hatinya busuk. Ketika diketahui ada orang berbuat jahat, perlu diarahkan dengan ilmu agama. Fungsi ilmu agama adalah mencerahkan. Orang jahat diarahkan dengan ilmu agama menuju pencerahan. Tingkah atau perbuatan hati yang baik perlu dilatih dan dibina terus, mulailah dari diri pribadi dan keluarga masing-masing.
Ketiga tingkah di atas dibutuhkan dengan tujuan untuk menyembah kepada Allah. Tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Dan puncak dari ibadah letaknya ada di hati, kalau hanya ada di lisan atau badan fisik berarti belum mencapai puncak. Maka, cucilah bersihkanlah hati setiap hari dengan dzikir dan wirid. Makin banyak dan terus semakin banyak, maka semakin bagus. Sejatinya domain atau wilayah hati, hanya Allah yang tahu dan berhak memberi nilai. Wallahu a’lam bis-showab.
*) disarikan dari Ngaji Ahad Pagi, Ahad Pon, 22 Juli 2018, di Masjid Baitul Istighfar Ngaliyan, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar