FENOMENA ZAMAN AKHIR*
Imron Samsuharto
Dunia kini lagi dihadapkan pada keadaan yang kian tak karuan. Kekacaubalauan
menandai zaman akhir atau akhir zaman. Virus corona merebak di mana-mana,
bermula dari negeri Cina terus menjalar ke seluruh dunia. Menjadi pandemi yang menakutkan.
Bagi
orang yang berpikir, inilah kesempatan yang bagus untuk lebih mendekat kepada
Yang Kuasa (taqorrub ilallah),
melalui sarana banyak belajar ilmu agama, berdzikir, berdoa, dan beribadah. Banyak orang munafik dalam menghadapi wabah
virus tersebut, dengan hanya memikirkan urusan keduniaan belaka. Pendekatan
keduniawian dikerahkan untuk menghadapi wabah tersebut.
Orang
yang hanya menggunakan pendekatan keduniawian itu tak layak diikuti. Orang yang
masih berpikir dunia-akhirat atau pendekatan duniawi-ukhrawi, masih bisa diikuti. Sementara fakta di lapangan,
perbandingan antara orang yang ngaji
dan menyukai agama (ilmu jagat) dan yang tidak, semakin njomplang dan nyata. Di samping itu, kini agama kerap dijadikan
simbol belaka dalam kehidupan sehari-hari. Miris rasanya.
Ngajilah
menggunakan pendekatan ilmu syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Syariat
mengajarkan tata aturan baku dalam beribadah. Orang muslim mesti belajar dan
menjalani syariat ini. Misalnya dalam beribadah sholat, sekiranya kuasa
dilakukan dengan berdiri. Jika tidak memungkinkan, bisa dengan duduk, selonjor,
rebahan atau berbaring.
Jika
pengamalan ibadah tersebut dapat meresap sampai ke batin, itu berarti memasuki
tataran tarekat. Bisa dikatakan, tarekat merupakan konsekuensi atau risiko lebih
lanjut dari syariat. Kalau syariat disetarakan amaliyah lahir, maka tarekat sebagai
amaliyah batin. Kemudian untuk menyempurnakan syariat dan tarekat tersebut
diperlukan tataran hakikat.
Pada
tataran hakikat, amaliyah pribadi seseorang bisa saja berbeda dengan orang
lain. Sebagai contoh, setelah sholat disyariatkan berdzikir membaca tasbih,
hamdalah, takbir masing-masing 33 kali. Itu disyariatkan dan diajarkan oleh
junjungan Nabi Muhammad saw. Nah, seseorang kok
sanggup mengamalkan bacaan dzikir tadi sampai 100 kali, tidak menjadi masalah. Dan
itu bukan berarti menyalahi aturan Nabi.
Pada
tingkatan atau tataran ma’rifat, orang beribadah mesti menata pikiran atau
akalnya dengan menyertakan sifat jujur, sabar, ikhlas lillahi ta’ala. Inilah yang dinamakan mutaqodun aqliyah. Lalu melengkapi dengan ilmu tentang ibadah itu
sendiri. Ini disebut sebagai mutaqodun
ilmiyah. Kemudian dalam beribadah itu, orang meyakini sepenuhnya bahwa
dirinya dilihat langsung oleh Allah Yang Bashiron.
Ini dinamakan mutaqodun ihsaniyah.
Ma’rifat bukanlah tataran tersendiri yang linuwih dapat berkomunikasi dengan
sesuatu yang ghoib (gaib), seperti
anggapan sementara orang selama ini.
Jika
seseorang bisa memenuhi mutaqodun aqliyah,
mutaqodun ilmiyah, dan mutaqodun ihsaniyah tersebut, maka ia
tak ada kekhawatiran terhadap apa pun yang terjadi di muka bumi ini. Dengan penanaman
amantu billah wal yaumil akhir
disertai tataran ma’rifat itu, insyaallah orang tak akan takut kepada fenomena heboh
seperti kasus corona yang merebak itu.
*) nukilan
Ngaji Ahad Pagi, 22 Maret 2020, di Masjid Baitul Istighfar, Ngaliyan-Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar