Kamis, 02 April 2020


FENOMENA ZAMAN AKHIR*

 Imron Samsuharto

Dunia kini lagi dihadapkan pada keadaan yang kian tak karuan. Kekacaubalauan menandai zaman akhir atau akhir zaman. Virus corona merebak di mana-mana, bermula dari negeri Cina terus menjalar ke seluruh dunia. Menjadi pandemi  yang menakutkan.

Bagi orang yang berpikir, inilah kesempatan yang bagus untuk lebih mendekat kepada Yang Kuasa (taqorrub ilallah), melalui sarana banyak belajar ilmu agama, berdzikir, berdoa, dan beribadah. Banyak orang munafik dalam menghadapi wabah virus tersebut, dengan hanya memikirkan urusan keduniaan belaka. Pendekatan keduniawian dikerahkan untuk menghadapi wabah tersebut.

Orang yang hanya menggunakan pendekatan keduniawian itu tak layak diikuti. Orang yang masih berpikir dunia-akhirat atau pendekatan duniawi-ukhrawi, masih bisa diikuti. Sementara fakta di lapangan, perbandingan antara orang yang ngaji dan menyukai agama (ilmu jagat) dan yang tidak, semakin njomplang dan nyata. Di samping itu, kini agama kerap dijadikan simbol belaka dalam kehidupan sehari-hari. Miris rasanya.

Ngajilah menggunakan pendekatan ilmu syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Syariat mengajarkan tata aturan baku dalam beribadah. Orang muslim mesti belajar dan menjalani syariat ini. Misalnya dalam beribadah sholat, sekiranya kuasa dilakukan dengan berdiri. Jika tidak memungkinkan, bisa dengan duduk, selonjor, rebahan atau berbaring.

Jika pengamalan ibadah tersebut dapat meresap sampai ke batin, itu berarti memasuki tataran tarekat. Bisa dikatakan, tarekat merupakan konsekuensi atau risiko lebih lanjut dari syariat. Kalau syariat disetarakan amaliyah lahir, maka tarekat sebagai amaliyah batin. Kemudian untuk menyempurnakan syariat dan tarekat tersebut diperlukan tataran hakikat.

Pada tataran hakikat, amaliyah pribadi seseorang bisa saja berbeda dengan orang lain. Sebagai contoh, setelah sholat disyariatkan berdzikir membaca tasbih, hamdalah, takbir masing-masing 33 kali. Itu disyariatkan dan diajarkan oleh junjungan Nabi Muhammad saw. Nah, seseorang kok sanggup mengamalkan bacaan dzikir tadi sampai 100 kali, tidak menjadi masalah. Dan itu bukan berarti menyalahi aturan Nabi.

Pada tingkatan atau tataran ma’rifat, orang beribadah mesti menata pikiran atau akalnya dengan menyertakan sifat jujur, sabar, ikhlas lillahi ta’ala. Inilah yang dinamakan mutaqodun aqliyah. Lalu melengkapi dengan ilmu tentang ibadah itu sendiri. Ini disebut sebagai mutaqodun ilmiyah. Kemudian dalam beribadah itu, orang meyakini sepenuhnya bahwa dirinya dilihat langsung oleh Allah Yang Bashiron. Ini dinamakan mutaqodun ihsaniyah. Ma’rifat bukanlah tataran tersendiri yang linuwih dapat berkomunikasi dengan sesuatu yang ghoib (gaib), seperti anggapan sementara orang selama ini.

Jika seseorang bisa memenuhi mutaqodun aqliyah, mutaqodun ilmiyah, dan mutaqodun ihsaniyah tersebut, maka ia tak ada kekhawatiran terhadap apa pun yang terjadi di muka bumi ini. Dengan penanaman amantu billah wal yaumil akhir disertai tataran ma’rifat itu, insyaallah orang tak akan takut kepada fenomena heboh seperti kasus corona yang merebak itu.

*) nukilan Ngaji Ahad Pagi, 22 Maret 2020, di Masjid Baitul Istighfar, Ngaliyan-Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar